Kerangkeng manusia Bupati Langkat. (Tangkapan layar facebook Terbit Rencana Perangin Angin) |
OTORITA.ID-Jakarta, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mengkritik kinerja kepolisian yang lebih dari 10 tahun tidak berhasil membongkar praktek perbudakan Bupati Langkat, Terbit Rencana Perangin Angin.
Koordinator KontraS, Fatia Maulidiyanti mengatakan lokasi kerangkeng tempat perbudakan itu berada di tempat yang sangat mudah dijangkau aparat.
"Kami menyoroti kinerja Kepolisian yang tidak berhasil membongkar praktik perbudakan tersebut selama lebih dari 10 tahun," kata Fatia dalam keterangan resmi, Senin (25/1).
Menurut Fatia, tindakan Bupati Langkat itu sudah memenuhi unsur delik perampasan kemerdekaan. hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 333 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
KontraS menilai, kegagalan membongkar praktek perbudakan itu menjadi bukti perlindungan negara terhadap hak asasi pekerja di kabupaten tersebut lemah.
"Negara telah mengabaikan hak asasi warga Kabupaten Langkat untuk mendapatkan pekerjaan yang layak," ujar Fatia.
Selain itu, KontraS juga menyayangkan sikap Badan Narkotika Nasional (BNN) Kabupaten Langkat yang justru seakan-akan mendukung pengurungan tersebut, meski mereka sudah mengetahuinya sejak lama.
KontraS menegaskan Bupati Langkat tidak berwenang melakukan pembinaan maupun rehabilitasi pengguna narkotika.
"Hal ini menandakan bahwa institusi lain yang membiarkan praktik tersebut tidak mengerti konsep dasar hak asasi manusia," tutur Fatia.
Selain itu, KontraS juga memastikan bahwa praktek pemenjaraan pekerja oleh Bupati Langkat dengan menggunakan dua kerangkeng merupakan bentuk perbudakan modern.
Dalam prakteknya ruang gerak dan kemerdekaan pekerja juga dirampas. Mereka juga disiksa dan tidak mendapatkan makanan hingga upah yang layak.
Lebih lanjut, kata Fatia, KontraS menduga praktek ini tidak hanya dilakukan Bupati Langkat melainkan melibatkan pihak lain yang dilakukan secara sengaja maupun pembiaran.
"Sehingga kuat dugaan bahwa praktek ini dilakukan secara terencana mengingat jumlah korban cukup banyak yakni sebanyak 40 orang," ujar Fatia.
KontraS lantas mendesak Komisi Nasional hak Asasi Manusia (Komnas HAM) agar segera melakukan investigasi. Praktek pelanggaran HAM di rumah BUpati Langkat ini, kata Fatia, harus dibongkar tuntas.
KontraS juga meminta Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) segera menjamin hak atas rasa aman dan melindungi korban. LPSK juga harus memberikan pemulihan efektif terhadap korban baik secara fisik maupun psikologis.
Selain itu, KontraS juga mendesak Polri agar mengusut tuntas persoalan ini.
"Mendesak...Polda Sumatera Utara untuk mengusut secara tuntas dan berkeadilan dengan menangkap seluruh pelaku yang terlibat dalam praktik perbudakan di rumah Bupati Langkat tersebut," tutur Fatia.
Sebagai informasi, kerangkeng itu ditemukan di lahan belakang rumah Bupati Langkat, Sumatera Utara, Terbit Rencana Perangin Angin pasca kegiatan OTT yang dilakukan KPK.
Menurut Ketua lembaga swadaya Migrant CARE Anis Hidayah, kasus tersebut membuka kotak pandora mengenai kejahatan lain yang diduga melibatkan Terbit. Anis menyebut ada tujuh tindakan perbudakan modern yang dilakukan. Salah satunya adalah keberadaan kerangkeng manusia untuk para pekerja.
Polisi mengatakan bahwa puluhan warga yang menghuni kerangkeng manusia di rumah Bupati Langkat, Sumatera Utara itu dipekerjakan sebagai buruh pabrik kelapa sawit namun tak dibayar.
Kepala Biro Penerangan Masyarakat (Karopenmas) Polri Brigjen Ahmad Ramadhan mengatakan bahwa tercatat ada 48 orang yang menghuni tempat tersebut dengan dalih rehabilitasi narkoba.
"Sebagian dipekerjakan di pabrik kelapa sawit milik Bupati Langkat. Mereka tidak diberi upah seperti pekerja," kata Ramadhan kepada wartawan, Selasa (25/1).(iam/DAL)
Sumber, CNN Indonesia