Pengertian Delik
Delik dalam bahasa asing disebut delict artinya suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan hukuman (pidana).
ilustrasi |
KBBI mengartikan “delik” sebagai “perbuatan yang dapat dikenakan hukuman karena merupakan pelanggaran terhadap undang-undang; tindak pidana.
Dengan kata lain, delik adalah tindak pidana atau perbuatan yang melanggar hukum pidana.
Hal senada dikemukakan Adami Chazawi dalam Pelajaran Hukum Pidana (Rajagrafinda Persada, Jakarta, 2001). Menurutnya, “delik” adalah “suatu perbuatan atau tindakan yang terlarang dan diancam dengan hukuman oleh undang-undang (pidana).”
Delik juga merupakan terjemahan dari kata Strafbaar feit. Terjemahan lain untuk kata strafbaar feit adalah peristiwa
pidana, perbuatan pidana, tindak pidana, atau perbuatan yang dapat dihukum dan pelanggaran pidana.
Moeljatno dalam Asas Asas Hukum Pidana berpendapat, untuk perkataan Strafbaarfeit, peristilahan yang paling tepat adalah “perbuatan pidana”.
Pemakaian istilah perbuatan dirasakan sepadan oleh karena dari sana dapat diambil suatu penafsiran, yakni adalah kelakuan dan akibat yang dilarang oleh suatu hukum.
Pengertian Delik Pers
Pers adalah usaha percetakan dan penerbitan, usaha pengumpulan dan penyiaran berita, penyiaran berita melalui surat kabar, majalah, dan radio, orang yang bergerak dalam penyiaran berita, medium penyiaran berita, seperti surat kabar, majalah, radio, televisi, dan film.
Delik artinya tindak pidana. Pers adalah media jurnalistik atau wartawan. Dengan demikian, secara bahasa, delik pers (press delict) artinya tindak pidana yang dilakukan wartawan atau lembaga pers.
Sebenarnya delik pers bukan merupakan istilah hukum. Delik pers hanya sebutan untuk menamai pasal-pasal KUHP yang berhubungan dengan pers.
Delik pers merupakan istilah yang digunakan untuk menyebutkan kasus-kasus yang berkaitan dengan pers.
KUHP tidak mengenal delik pers. Sebagian besar pelanggaran yang selama ini dianggap sebagai delik pers, sebenarnya merupakan “delik umum yang kebetulan dilakukan oleh pers” (Hukum Online).
Istilah delik pers juga tidak ada dalam UU No. 40/1999 tentang Pers.
Mantan Jaksa Agung Marsilam Simanjuntak berpendapat, UU Pers merupakan lex specialis (hukum yang bersifat khusus) yang mengenyampingkan KUHP maupun KUH Perdata. Adanya tuntutan perdata dan pidana terhadap pers karena aparat penegak hukum, terutama pengadilan, membiarkan dirinya menjadi alat pengancam yang menerbitkan ketakutan kepada pers.
Ada tiga unsur yang harus dipenuhi agar suatu perbuatan yang dilakukan melalui pers dapat digolongkan sebagai delik pers:
1. Adanya penyebarluasan gagasan melalui barang cetakan.
2. Gagasan yang disebarluaskan harus merupakan perbuatan yang dapat dipidana menurut hukum.
3. Gagasan yang disebarluaskan dan dapat dipidanakan tadi harus dapat dibuktikan telah dipublikasikan.
Selain itu, ada dua unsur yang harus dipenuhi supaya seorang wartawan dapat dimintai pertanggungjawaban dan dituntut secara hukum:
Wartawan yang bersangkutan mengetahui sebelumnya isi berita dan tulisan yang dimaksud.
1. Wartawan yang bersangkutan sadar bahwa tulisan yang dimuatnya dapat dipidana.
2. Jika kedua unsur ini tidak terpenuhi, maka wartawan yang bersangkutan tidak dapat dituntut atau dimintai pertanggungjawaban secara hukum.
Mr. D. Hazewinkel Suringa dalam Inleiding tot de Studie van het Strafrecht menyatakan, delik pers adalah pernyataan pikiran dan perasaan yang dapat dijatuhi pidana yang untuk penyelesaiannya membutuhkan publikasi pers.
Macam-Macam Delik Pers
Delik pers dibagi menjadi dua jenis:
1. Delik Biasa
Tindak pidana pers yang muncul tanpa adanya pengaduan atau laporan dari pihak yang merasa dirugikan. Delik biasa terutama berkaitan dengan lembaga kepresidenan –pemberitaan dianggap menghina presiden atau wakil presiden.
2. Delik Aduan
Kasus pers yang muncul jika ada pihak yang mengadukan kepada pihak kepolisian. Selama tidak ada pihak yang mengadu, pers atau wartawan tidak bisa digugat, dituntut, atau diadili. Jadi, delik aduan adalah tindak pidana yang diproses berdasarkan laporan.
Penghinaan dan Pencemaran Nama Baik
Penghinaan dan pencemaran nama baik seseorang adalah ketentuan hukum yang paling sering digunakan untuk melawan media massa.
Dengan kata lain, kasus delik pers muncul karena ada pemberitaan yang dinilai menghina atau mencemarkan nama baik.
Fitnah yang disebarkan secara tertulis dikenal dengan istilah libel, sedangkan yang diucapkan disebut slander. Fitnah lazimnya merupakan kasus delik aduan.
Seseorang yang nama baiknya dicemarkan bisa melakukan tuntutan ke pengadilan sipil, dan jika menang bisa mendapat ganti rugi. Hukuman pidana penjara juga bisa diterapkan kepada pihak yang melakukan pencemaran nama baik.
Ancaman hukum yang paling sering dihadapi media atau wartawan adalah menyangkut pasal-pasal penghinaan atau pencemaran nama baik.
Dalam KUHP setidaknya terdapat 16 pasal yang mengatur soal penghinaan. Penghinaan terhadap Presiden dan wakil Presiden diancam oleh pasal 134, 136, 137.
Penghinaan terhadap Raja, Kepala Negara sahabat, atau Wakil Negara Asing diatur dalam pasal 142, 143, 144. Penghinaan terhadap institusi atau badan umum (seperi DPR, Menteri, DPR, kejaksaan, kepolisian, gubernur, bupati, camat, dan sejenisnya) diatur dalam pasal 207, 208, dan 209. Jika penghinaan itu terjadi atas orangnya (pejabat pada instansi negara) maka diatur dalam pasal 316.
Penghinaan terhadap anggota masyarakat umum diatur dalam pasal 310, 311, dan 315. Selain itu, masih terdapat sejumlah pasal yang bisa dikategorikan dalam delik penghinaan ini, yaitu pasal 317 (fitnah karena pengaduan atau pemberitahuan palsu kepada penguasa), pasal 320 dan 321 (pencemaran atau penghinaan terhadap seseorang yang sudah mati).
Delik Pers: Pasal-Pasal Penghinaan dalam KUHP
1. Pasal 134, 136, 137
- Penghinaan terhadap Presiden dan wakil Presiden, dengan cara menyiarkan, menunjukkan, menempelkan di muka umum.
- Pidana 6 tahun penjara
2. Pasal 142
- Penghinaan terhadap Raja/Kepala Negara sahabat
- Pidana 5 tahun penjara
3. Pasal 143, 144
- Penghinaan terhadap wakil negara asing
- Pidana 5 tahun penjara
4. Pasal 207, 208, 209
- Penghinaan terhadap Penguasa dan Badan Umum
- Pidana 6 bulan penjara
5. Pasal 310, 311, 315, 316
- Penyerangan/pencemaran kehormatan atau nama baik seseorang, tuduhan dengan tulisan
- Pidana 9 bulan, 16 bulan penjara
6. Pasal 317
- Fitnah pemberitahuan palsu, pengaduan palsu
- Pidana 4 tahun penjara
7. Pasal 320, 321
- Penghinaan atau pencemaran nama orang mati
- Pidana 4 bulan penjara
(Diolah dari buku Ketentuan-Ketentuan Hukum Pidana yang Ada Kaitannya dengan Media Massa, Departemen Penerangan RI, 1998).
Delik Pers: Delik Aduan
delik pers berita kriminalKetentuan hukum penghinaan bersifat delik aduan, yakni perkara penghinaan terjadi jika ada pihak yang mengadu.
Artinya, masyarakat yang merasa dirugikan oleh pemberitaan pers nama baiknya tercemar atau merasa terhina harus mengadu ke aparat hukum agar perkara bisa diusut.
Kasus penghinaan terhadap Presiden, Wakil Presiden, dan Instansi Negara, termasuk dalam delik biasa, artinya aparat hukum bisa berinisiatif melakukan penyidikan dan pengusutan tanpa harus ada pengaduan dari pihak yang dirugikan.
Logika dari ketentuan ini adalah presiden, wakil presiden, dan instansi negara adalah simbol negara yang harus dijaga martabatnya. Selain itu, posisi jabatannya tidak memungkinkan mereka bertindak sebagai pengadu.
Dalam KUHP sejatinya tidak didefinisikan dengan jelas apa yang dimaksud dengan penghinaan, akibatnya perkara hukum yang terjadi seringkali merupakan penafsiran yang subjektif.
Seseorang dengan mudah bisa menuduh pers telah menghina atau mencemarkan nama baiknya, jika ia tidak suka dengan cara pers memberitakan dirinya. Hal ini menyebabkan pasal-pasal penghinaan (dan penghasutan) sering disebut sebagai “ranjau” bagi pers, karena mudah sekali dikenakan untuk menuntut pers atau wartawan.
Selain itu ketentuan ini juga sering dijuluki sebagai “pasal-pasal karet”, karena begitu lentur untuk ditafsirkan dan diinterpretasikan. Terlebih-lebih jika pelanggaran itu terkait dengan presiden, wakil presiden, dan instansi negara..
Hakikat penghinaan adalah menyerang kehormatan dan nama baik seseorang, golongan, lembaga, agama, jabatan, termasuk orang yang sudah meninggal.
Dalam KUHP disebutkan bahwa penghinaan bisa dilakukan dengan cara lisan atau tulisan (tercetak).
Bentuk penghinaan dibagi dalam lima kategori, yaitu:
- pencemaran,
- pencemaran tertulis,
- penghinaan ringan,
- fitnah,
- fitnah pengaduan dan fitnah tuduhan.
Kategorisasi penghinaan tersebut tidak ada yang secara khusus ditujukan untuk pers, meskipun demikian bisa dikenakan untuk pers, dengan ancaman hukuman bervariasi antara empat bulan hingga enam tahun penjara.
Pers sering harus berhadapan dengan anggota masyarakat yang merasa dirugikan oleh suatu pemberitaan. Penafsiran adanya penghinaan atau pencemaran nama baik (dalam pasal 310 KUHP) ini berlaku jika memenuhi unsur:
1. Dilakukan dengan sengaja, dan dengan maksud agar diketahui umum (tersiar)
2. Bersifat menuduh, dalam hal ini tidak disertai bukti yang mendukung tuduhan itu.
3. Akibat pencemaran itu jelas merusak kehormatan atau nama baik seseorang.
Misalnya, kasus yang terjadi pada tabloid Warta Republik yang menulis laporan Utama berjudul “Cinta Segitiga Dua Orang Jendral: Try Sutrisno dan Edi Sudradjat Berebut Janda”.
Laporan yang dimuat pada edisi pertama, November 1998, itu ditulis tanpa ada wawancara atau konfirmasi dari sumber berita, melainkan hanya bersumber dari desas-desus.
Pemimpin Redaksi Warta Republik diadukan ke pengadilan dijatuhi hukuman percobaan, karena mencemarkan nama baik pengadu, yaitu Jenderal TNI (purn.) Try Sutrisno dan Jendral TNI (purn.) Edi Sudradjat.
Dalam kasus itu wartawan tabloid Warta Republik memenuhi unsur sengaja melakukan penghinaan, menuduh tanpa bukti dan telah mencemarkan nama baik pengadu.
Kasus gugatan terhadap majalah Gatra yang diajukan oleh Tommy Soeharto berkaitan dengan tulisan berjudul “Obat Terlarang, Nama Tommy pun Disebut” (Edisi No. 48, 17 Oktober 1998), ditolak oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta.
Dalam pertimbangannya, hakim berpendapat Gatra telah telah melakukan peliputan yang sesuai dengan standar kode etik, dan berupaya melengkapi sumber-sumber yang bisa memberikan keterangan dalam melengkapi akurasi laporan.
Dua contoh di atas adalah kasus penghinaan yang bersifat delik aduan, yaitu anggota masyarakat yang merasa dirugikan pers mengadu, sehingga kasusnya diproses secara hukum.
Namun,pasal-pasal delik penghinaan ini pada era Orde Baru sering digunakan untuk menekan pers itu untuk kepentingan kekuasaan.
Sejumlah Koran menjadi korban dari pasal-pasal penghinaan yang digunakan secara subjektif oleh aparat, salah satu contoh adalah yang menimpa majalah Sendi, pada 1972.
Majalah itu dibredel, surat izin terbitnya dicabut, pemimpin redaksi-nya dituntut di pengadilan, karena memuat tulisan yang dianggap menghina Kepala Negara dan keluarga. Tentu saja tuduhan “penghinaan” tersebut tidak pernah dibuktikan dan tanpa melalui proses hukum.
Contoh Kasus Delik Pers
Beberapa Kasus Tuntutan Hukum kasus “penghinaan” terhadap berita media cetak
1. Berita Buana, 4 November 1989
- Judul: Banyak Makanan Yang Dihasilkan, Ternyata Mengandung Lemak Babi
- Kasus/dakwaan: menyiarkan berita bohong (pasal 160 KUHP), tidak meneliti kebenaran informasi
- Hasil akhir: pidan 18 bulan penjara untuk redaktur pelaksana.
2. Pos Kota, Juni 1990
- Judul: Permainan Sidang Tilan di PN Jakarta Pusat Semakin Gila
- Kasus/dakwaan: pencemaran nama baik jaksa. Tidak disengaja dan sudah diralat
- Hasil akhir: bebas.
3. Warta Republika, 25 Agustus 1999
- Judul: Cinta Segitiga Dua Jenderal: Try Sutrisno dan Edi Sudradjat Berebut Janda
- Kasus/dakwaan: pencemaran nama baik Try S dan Edi S. Sumber tidak jelas, tidak konfirmasi
- Hasil akhir: hukuman percobaan.
4. Majalah D&R, 6 Juni 1999
- Judul: Tender Proyek, KKN Gubernur
- Kasus/dakwaan: Pencemaran nama baik Gub. Sulsel
- Hasil akhir: tidak jelas.
5. Majalah Gatra, 17 Oktober 1998
- Judul: Obat Terlarang, Nama Tommy pun Disebut
- Kasus/dakwaan: Tommy menggugat 150 milyar atas perbuatan tidak menyenangkan
- Hasil akhir: Bebas, memenuhi kode etik.
6. Sriwijaya Pos, 26 AGustus 1999
- Judul: KaBakin Terima 400 Milyar
- Kasus/dakwaan: pencemaran nama baik. Gugatan perdata dan pidana
- Hasil akhir: hukuman percobaan.
7. Tajuk, 23 Juni 1999
- Judul: Di Balik Setoran Pribadi itu
- Kasus/dakwaan: digugat 10 miliar atas perbuatan melawan hukum
- Hasil akhir: meminta maaf secara terbuka.
8. Info Bisnis 66/Tahun IV/1999
Judul: Baramuli dan Kredit Rp 800 Milyar
Kasus/dakwaan: pencemaran nama baik
Hasil akhir: tidak jelas.
Untuk contoh delik pers terbaru bisa disimak di arsip berita Kasus-Kasus Pengadilan Pers Tempo.
Demikian pengertian delik pers dan contoh-contoh kasusnya. Saat ini kasus pemberitaan yang dianggap merugikan biasanya diadukan ke Dewan Pers, namun juga sering langsung dilaporkan ke polisi. Wasalam. (www.romeltea.com).
Sumber: Dewan Pers; Oemar Seno Adji. 1990. Perkembangan Delik Pers di Indonesia. Jakarta: Erlangga; RH Siregar dkk 2003. Delik Pers dalam Hukum Pidana. Jakarta: Dewan Pers dan Lembaga Informasi Nasional.